Minggu, 30 Oktober 2011

Pornografi


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
Pornografi, tampaknya selalu menjadi diskursus yang tak pernah ada habisnya. Karena begitu menarik tiap kali membahasnya. Penafsiran akan istilah tersebut pun masih terus menjadi perdebatan diantara kita. Apalagi jika pornografi ditinjau dari sudut pandang yang beraneka, seperti agama, budaya, dan bangsa.

Pertama jika ditinjau dari perspektif agama, pornografi merupakan hal yang diharamkan keberadaannya. Karena dinilai sebagai hal yang dapat merusak moral manusia. Didalamnya mengandung nilai-nilai asusila. Yang dapat mengganggu kehidupan para pemeluk agama. Tidak hanya dalam hubungan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga dalam menjalin hubungan terhadap sesama.

Hal tersebut yang menjadikan pornografi dilarang oleh agama. Karena dinilai lebih banyak mengandung kemudharatan daripada kemaslahatannya. Tidak hanya pornografi, sebagai sebuah ide, yang dicekal oleh agama. Tetapi juga “aksiden” dari ide tersebut (pornoaksi) pun dilarang dan bahkan dikenakan sanksi bagi pelanggarnya, yaitu berupa dosa. Serta ancaman dicoret namanya dalam daftar para penghuni surga dan direkomendasikan untuk menempati neraka. Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008

Selama pembahasannya dan setelah diundangkan, UU ini maraknya mendapatkan penolakan dari masyarakat. Masyarakat Bali berniat akan membawa UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD Bali Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak Undang-Undang Pornografi ini.ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie mendesak Pemerintah untuk membatalkan Undang-Undang Pornografi yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan memisahkan diri dari Indonesia. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak pengesahan dan pemberlakuan UU Pornografi.

Pembahasan akan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR. Dalam perjalanannya draf RUU APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal.
Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".

Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) yang secara harafiah berarti "tulisan atau gambar tentang pelacur". Definisi pornoaksi pada draft ini adalah "upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi".

Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR. Dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal. Pada RUU Pornografi, defisini pornografi disebutkan dalam pasal 1: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya, dengan memasukkan "gerak tubuh" kedalam definisi pornografi.
Rancangan terakhir RUU ini masih menimbulkan kontroversi, banyak elemen masyarakat dari berbagai daerah (seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatra Utara, dan Papus), LSM perempuan yang masih menolak RUU ini

Kedua, pornografi dalam kacamata kebudayaan merupakan sebuah ide dari hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Sehingga keberadaanya masih dapat dipertanggung-jawabkan secara moral dan susila. Sebagai sebuah ide, pornografi dapat berupa nilai seni dari manusia berbudaya. Yang didalamnya sarat mengandung nilai-nilai estetika. Terlebih lagi jika keindahan dipandang sebagai sebuah mahakarya. Yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta kepada alam semesta.
Dari kerangka berpikir demikian maka dapat dikatakan bahwa pornografi bagian dari realita. Yang sulit untuk dilarang maupun diharamkan keberadaannya. Justru harus diterima dengan lapang dada dan dengan sudut pandang yang berbeda. Sehingga membuka cakrawala pengetahuan kita seluasnya.
Pornografi akan merusak tatanan norma-norma dalam masyarakat, merusak keserasian hidup dan keluarga dan masyarakat pada umumnya dan merusak nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia seperti nilai kasih, kesetiaan, cinta, keadilan, dan kejujuran. Nilai-nilai tersebut sangat dibutuhkan masyarakat sehingga tercipta dan terjamin hubungan yang sehat dalam masyarakat. Masyarakat yang sakit dalam nilai-nilai dan norma-norma, akan mengalami kemerosotan kultural dan akhirnya akan runtuh

Ketiga adalah penilaian dalam konteks berbangsa. Indonesia sebagai sebuah entitas bangsa yang memiliki ragam agama dan budaya, tidak dapat diseragamkan oleh suatu ide yang memaksa. Dan terkait dalam hal ini adalah pornografi sebagai sebuah ide, yang ingin diseragamkan persepsinya. Tentu hal tersebut dapat terngganggu keutuhan bangsa dan negara. Kemungkinan lain dapat merusak kerukunan umat beragama, maupun hubungan antar suku bangsa.


Dengan keanekaragaman budaya tersebut, maka mengindikasikan pula keragaman persepsi diantara kita. Keragaman persepsi itu yang kemudian memicu isu pornografi berubah menjadi sebuah kontroversi yang kian hari mengemuka. Sehingga menuai polemik di kalangan masyarakat Indonesia. Yang ditengarai saat ini masih dalam tahap perkembangan untuk menjadi “dewasa”. Padahal sesungguhnya dengan kedewasaan itulah kita dapat saling menghargai dan menerima setiap perbedaan yang ada. Kebhinekaan di dalam bangsa ini merupakan sebuah anugerah yang harus disyukuri dan dijaga. Untuk itu kita harus bersama-sama menyatukan visi demi kemajuan bangsa dan negara. Bukan dengan menyeragamkan persepsi terhadap sebuah diskursus yang tak jelas ukuran penafsirannya. Apalagi jika sampai mengakibatkan rusaknya keharmonisan bangsa lantaran pandangan yang berbeda. Yang pada akhirnya menuaikan duka lara dan menjadi hal yang sia-sia.
Sangat tidak sesuai dengan kepribadian bangsa yang ketimuran.Budaya Indonesia.Negara Indonesia yang memiliki budaya ketimuran sangat berbeda dengan kebudayaan barat.Pornografi dapat merusak moral generasi penerus bangsa.
Menurut saya, pornografi lebih banyak menimbulkan dampak negatife dari pada dampak positif yang dapat merusak moral bangsa

a.      Sudut Pandang Agama
Belakangan, kembali marak pembicaraan mengenai pornoaksi dan pornografi di masyarakat. Hal ini bukan hanya karena dibahasnya kembali RUU tentang Pornografi dan Pornoaksi di Komisi IX DPR, atau akan diterbitkannya majalah Playboy edisi Indonesia Maret mendatang, tetapi juga kebutuhan akan informasi dan pengertian mengenai pornoaksi dan pornografi yang sesungguhnya. Saat ini, masalah pornografi dan pornoaksi semakin memprihatinkan dan dampak negatifnya pun semakin nyata, di antara, sering terjadi perzinaan, perkosaan dan bahkan pembunuhan maupun aborsi.  Para pelakuknya pun tidak hanya orang-orang yang tidak dikenal, namun juga terjadi pelakunya adalah dalam lingkungan keluarga sendiri. Selain itu, pelarangan pornografi dalam ajaran Islam tidak hanya berlaku untuk anak-anak, tapi juga bagi orang dewasa. Menurut Rofiah, pornografi adalah segala jenis tulisan, gambar, suara dan bunyi yang melanggar ketentuan syariat Islam mengenai aurat, hubungan seksual serta larangan untuk memberi stimulan seksual dalam kehidupan umum. "Dalam Islam penjelasan mengenai aurat sangat jelas. Untuk laki-laki bagian tubuh yang tidak boleh tampak adalah dari pusar hingga lutut. Sedangkan untuk perempuan harus menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan yang boleh terlihat,". Lebih lanjut dia mengatakan, dampak pornografi tidak hanya menimpa anak-anak yang belum memiliki pemahaman tentang hal tersebut, melainkan juga pada semua orang. Dalam sistem pergaulan yang saat ini berlaku di masyarakat, kata Rofiah, mengonsumsi pornografi bagi orang dewasa masih diperbolehkan dalam kehidupan pribadi sebagai salah satu bentuk kebebasan individu

b.      Sudut Pandang Etika
Globalisasi telah menghapus sekat-sekat yang ada dalam masyarakat baik itu masyarakat internasional maupun merembes kepada masyarakat dalam satu negara. Hal yang nampak  jelas adalah terjadinya pertemuan antar budaya yang telah melahirkan dua mata pisau,disatu sisi berdampak positif, namun di sisi lain terjadi pergesekan yang cukup hebat. Negara-negara timur, khususnya bangsa Indoesia sangat terkenal dengan bangsa yangsopan-santun, ”lebih beretika”, dan sangat kuat memegang norma-norma terutama normaagama. Berkat kemajuan teknologi dan informasi maka masuklah pengaruh dari negara-negara lain, yang mencolok dalam hal ini adalah masuknya budaya dari negara-negaraBarat. Budaya Barat yang serba terbuka, termasuk ”buka-bukaan” dalam berpakaian.
Berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi ini, maka saya mencoba untuk menelaahnya dalam kajian etika. Mengapa kajian etika sangat diperlukan dalam masalah ini? Ada baiknya kita merujuk pada yang disampaikan Franz Magnis Suseno, seorang ahli filsafatdari STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara, tentang etika sangat diperlukan padazaman sekarang, yang tertera dalam bukunya ”Etika Dasar”:
Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa dengan pengalaman yang berbeda dengan BangsaBarat. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Mitologi kita tidak mengenal figur Prometheus: seorang pahlawan manusia yang memberontak kekuasaan langit. ManusiaIndonesia lebih memilih sebagai wakil Tuhan di muka bumi atau imago dei (jembatanantara Tuhan dan bumi). Dalam pandangan hidup dan budaya kita, pornografi dan pornoaksi adalah fenomena diluar sistem-nilai. Karena itu, sudah sepatutnya bagi mereka yang tetap berpegang teguh pada pandangan-hidup dan sistem nilai Indonesia yang menolak segala bentuk pornografidan pornoaksi

c.       Sudut Pandang Budaya Bangsa Indonesia
Pornografi mendapat gambaran sikap atas seksualitas pada budaya masyarakat Indonesia secara proporsional melalui pendekatan sejarah dan budaya. Pornografi-pornoaksi dan seksualitas ibarat dua sisi dari satu koin. Di satu sisi, norma dan nilai yang dilekatkan pada individu (aspek rekreasi) yang bersifat spesifik secara sejarah dan budaya. Sisi lain, sifat alamiah manusia (fungsi biologis-prokreasi). Sikap masyarakat Indonesia terbuka terhadap seksualitas yang mempunyai akar sosiokultural yang berubah dari waktu ke waktu. Setidaknya, hal ini bisa dilihat jejaknya dari Kakawin Arjunawiwaha (Mpu Tantular) dan Serat Centhini (Paku Buwono V). Kedua karya besar itu eksplisit menunjukkan secara terbuka karena aktivitas seksual dipandang sebagai hal alami. masyarakat kelas menengah atas cenderung bersikap lebih konservatif daripada masyarakat pedesaan yang tidak mengenyam sekolah. Pendapat ini selaras dengan pendapat Hull yang menyatakan moralitas ”tradisional” yang menyalahkan hubungan seksual pranikah lebih dipengaruhi moralitas impor dari kolonialisme Belanda ketimbang pola sosial tradisional Melayu- Polinesia. Pendapat ini diperjelas Reid yang menunjukkan, sebelum abad ke-16, pandangan seksualitas orang Indonesia-Asia Tenggara lebih kendur atau bebas ketimbang bangsa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar